Rabu, 03 Mei 2017

MENTERJEMAHKAN JURNAL

TEKNOLOGI  INFORMASI

CONCEPTUAL  FRAMEWORK  FOR  REGIONAL COMPETITIVENESS
(Kerangka  konseptual  untuk  Daya  Saing Daerah)

Dosen Pengampu:
DR. Windhu Putra, S.E. M.Si

Disusun Oleh:

                                                                     Sri indrawati  
KETERANGAN
BAHASA INGGRIS
BAHASA INDONESIA TRANSLATE
BAHASA INDONESIA HALUS
JUDUL
Kerangka  konseptual  untuk  Daya  Saing Daerah
Kerangka Konseptual untuk Daya Saing Daerah.
KEYWORD
Kata kunci:  Daya Saing,  keunggulan kompetitif  dan komparatif,  X-inefisiensi,  ekonomi aglomerasi,  daya saing  Regional
Kata kunci : daya saing, keunggulan kompetitif dan komperatif, X-inefisiensi, ekonomi aglomerasi,  daya saing  Regional. 
ABSTRACK
Budd L. and Hirmis A. K. (2004) Conceptual framework for regional competitiveness, Regional Studies 38, 1007-1020. The concept of territorial competitiveness has gained ground in academic, policy and practitioner circles. In particular, urban competitiveness has generated a large literature. However, there is a danger that competitiveness at a territorial level becomes a conceptual chimera. The essential problem is that territorially based actors and agencies seek to position and maintain the utility of their regions and subregions by reference to a set of measures and indicators that are conceptually suspect and often empirically weak. The degree to which regions compete depends on a manifold set of factors. The paper proposes a conceptual framework for regional competitiveness based on combining the competitive advantage of firms and the comparative advantage of a regional economy The conceptual transmission mechanism to regional competitiveness combines Liebenstein's theory of 'X-inefficiency' and agglomeration economies. The paper begins with a review of competitiveness and its literature. It then investigates the regional balance of payment constraint in the absence of a real regional exchange rate. In conclusion, it asks whether the conceptual approach was appropriate for a study of benchmarking indicators for the London region in comparison with other metropolises.
BUDD L. dan HIRMIS A. K. (2004) kerangka konseptual untuk daya saing daerah, Studi Regional 38, 1007-1020. Konsep daya saing wilayah telah memperoleh tanah di akademik, kebijakan dan kalangan praktisi. Secara khusus, daya saing perkotaan telah menghasilkan banyak literatur. Namun, ada bahaya bahwa daya saing di tingkat teritorial menjadi gagasan  konseptual. Masalah penting adalah bahwa aktor dan lembaga teritorial berdasarkan mencari untuk posisi dan mempertahankan utilitas daerah dan subwilayah mereka dengan mengacu pada satu set langkah-langkah dan indikator yang secara konseptual menduga dan sering empiris lemah. Sejauh mana daerah bersaing tergantung pada satu set berjenis faktor. Makalah ini mengusulkan sebuah kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah berdasarkan menggabungkan keunggulan  kompetitif perusahaan dan keunggulan komparatif dari perekonomian daerah Mekanisme transmisi konseptual untuk daya saing daerah menggabungkan teori Liebenstein dari 'X-inefisiensi dan ekonomi aglomerasi. Makalah ini dimulai dengan ulasan daya saing dan sastra nya. Kemudian menyelidiki keseimbangan regional kendala pembayaran dengan tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata. Sebagai kesimpulan, menanyakan apakah pendekatan konseptual sesuai untuk studi indikator benchmarking untuk wilayah London dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
BUDD L. dan HIRMIS A.K.(2004) kerangka konseptual untuk daya saing daerah, Studi Regional 38, 1007-1020. Konsep daya saing wilayah  telah memperoleh tanah di akademik praktisi. Secara khusus, daya saing diperkotaan telah menghasilkan banyak literatur. Namun, ada banyak bahaya bahwa daya saing ditingkat territorial menjadi suatu ide gagasan konseptual. Masalah penting adalah bahwa pelaku dan lembaga teritorial berdasarkan cara untuk mendapatkan posisi dan mempertahankan utilitas daerah dan subwilayah mereka dengan mengacu pada suatu langkah-langkahdan indicator yang secara konseptual menduga dan sering empiris lemah. Sejauh mana suatu daerah bersaing, tergantung pada satu set seperti faktor. Makalah ini mengusulkan sebuah kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah berdasarkan gabungan keunggulan kompetitif perusahaan dengan keunggulan dari perekonomian daerah. Mekanisme transmisi konseptual untuk daya saing daerah yang menggabungkan teori Liebenstein dar ‘X-inefisien dan ekonomi aglomerasi. Makalah ini dimulai dengan ulasan daya saing dan sastranya. Kemudian menyelidiki keseimbangan regional kendala pembayaran dengan tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata. Sebagai kesimpulan, menanyakan apakah pendekatan konseptual sesuai untuk studi indikator  benchmarking untuk wilayah London dibandingkan dengan kota-kota lainnya.

Budd L. and Hermes A. K. (2004) Regional Competitiveness: A Conceptual Framework, Regional Studies38, 1007-1020. In the intellectual, policy and professional circles, the notion of territorial competitiveness has gained ground. In particular, urban competitiveness has generated important documentation. However, there is a risk that competitiveness becomes a conceptual chimera on a geographical level. The overarching problem is that actors and territorial agencies seek to position and maintain the usefulness of regions and subregions in relation to a set of conceptually dubious and often empirically weak measures and indicators. The competitiveness of the regions depends on many factors. This paper seeks to propose a conceptual framework of regional competitiveness based on a combination of the competitive advantage of firms and the comparative advantage of a regional economy. The conceptual transmission mechanism of regional competitiveness combines the theory of inefficiency X in Liebenstein and the conglomeration economies. First, the article criticizes the competitiveness and the corresponding documentation. The result is a study of regional constraints in the absence of a real regional exchange rate. To conclude, the paper asks the following question: Is the conceptual approach appropriate for the survey of London and its surroundings relative to other metropolises?
Budd L. dan Hermes A. K. (2004) Daya Saing Daerah: Kerangka Kerja Konseptual, Regional Studies38, 1007-1020. Dalam intelektual, kebijakan dan profesional lingkaran, gagasan daya saing wilayah telah memperoleh tanah. Secara khusus, daya saing perkotaan telah menghasilkan dokumentasi penting. Namun, ada risiko bahwa daya saing menjadi chimera konseptual pada tingkat geografis. Masalah menyeluruh adalah bahwa aktor dan lembaga teritorial berusaha untuk posisi dan mempertahankan kegunaan daerah dan subregional dalam kaitannya dengan satu set konseptual meragukan dan sering tindakan empiris yang lemah dan indikator. Daya saing daerah tergantung pada banyak faktor. Makalah ini berusaha untuk mengusulkan kerangka kerja konseptual daya saing daerah didasarkan pada kombinasi dari keunggulan kompetitif perusahaan dan keunggulan komparatif ekonomi regional. Mekanisme transmisi konseptual daya saing daerah menggabungkan teori inefisiensi X di Liebenstein dan ekonomi konglomerasi. Pertama, artikel mengkritik daya saing dan dokumentasi yang sesuai. Hasilnya adalah studi tentang kendala daerah dengan tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata. Untuk menyimpulkan, kertas meminta pertanyaan berikut: Apakah pendekatan konseptual yang tepat untuk survei dari London dan sekitarnya relatif terhadap kota-kota lainnya?
Budd L. dan Hermes A.K.(2004) Daya Saing Daerah: Kerangka Kerja Konseptual, Regional Studies 38, 1007-1020. Dalam intelektual, kebijakan dan profesional lingkaran, gagasan daya saing wilayah telah memperoleh tanah. Secara khusus, daya saing diperkotaan telah menghasilkan dokumentasi penting. Namun, ada resiko bahwa daya saing tingkat goegrafis. Masalah seluruhnya adalah bahwa pelaku dan lembaga territorial berusaha untuk mendapatkan posisi dan mempertahankan kegunaan daerah dan subregional dalam kaitannya dengan satu set konseptual meragukan dan sering terdapat tindakan yang empiris yang lemah dan indikator. Daya saing daerah tergantung pada banyak faktor. Makalah ini berusaha untuk mengusulkan kerangka konsep konseptual daya saing daerah didasarkan pada penggabungan dari keunggulan kompetitif perusahaan dan keunggulan kompetitif ekonomi regional. Mekanisme transmisi yang menggabungkan teori X-inefisiensi di Liebenstein dan ekonomi konglomerat. Pertama, artikel mengkritik daya saingdan dokumentasi yang sesuai. Hasilnya  adalah studi tentang kendala daerah dengan tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata. Untuk menyimpulkan, atas pernyataan berikut: Apakah pendekatan konseptual yang tepat untuk survey dari London dan sekitarnya relative terhadap kota-kota lainnya?

BUDD L. and HIRMIS A. K. (2004) A conceptual framework for regional competition, Regional Studies 38, 1007-1020. The concept of a regional competitor has gained ground in academic, political and practical circles. Especially the urban competition spirit has produced an extensive literature. There is, however, a risk that the competitor at the level of the region becomes a conceptual chimera. The basic problem is that area-bound players and agencies are endeavoring to position and maintain the usefulness of their regions and subregions by pointing to a series of measures and measures that are conceptually suspect and empirically uncertain. The extent of competition among regions depends on a bundle of manifold factors. This essay proposes a conceptual framework for regional competition based on combating the competitive advantages of companies and also the comparable advantages of a regional economy. The conceptual mechanism of transmission to a regional competitor combines Liebenstein's theory of 'X-inefficiency' with agglomerations. The essay first presents an overview of competition and its literature. Then he examines the regional balance sheets in the light of the lack of a real regional exchange rate. Finally, the question is raised as to whether the conceptual.
BUDD L. dan HIRMIS A. K. (2004) Sebuah kerangka konseptual untuk kompetisi regional, Studi Regional 38, 1007-1020. Konsep pesaing regional menguat di kalangan akademisi, politik dan praktis. Terutama semangat kompetisi perkotaan telah menghasilkan literatur yang luas. Ada, bagaimanapun, risiko bahwa pesaing di tingkat daerah menjadi chimera konseptual. Masalah mendasar adalah bahwa pemain dan lembaga daerah-terikat berusaha untuk posisi dan mempertahankan kegunaan daerah dan subwilayah mereka dengan menunjuk serangkaian langkah-langkah dan tindakan yang konseptual menduga dan secara empiris tidak pasti. Tingkat persaingan antar daerah tergantung pada bundel faktor ragamnya. Esai ini mengusulkan kerangka kerja konseptual untuk kompetisi regional berdasarkan memerangi keunggulan kompetitif perusahaan dan juga keuntungan yang sebanding dari perekonomian daerah. Mekanisme konseptual transmisi untuk pesaing daerah menggabungkan teori Liebenstein dari 'X-inefisiensi' dengan aglomerasi. Esai pertama menyajikan gambaran kompetisi dan literatur. Lalu ia meneliti neraca daerah dalam terang kurangnya nilai tukar daerah yang nyata. Akhirnya, muncul pertanyaan apakah konseptual.
BUDD L. dan HIRMIS A. K. (2004) Sebuah kerangka konseptual untuk kompetisi regional, Studi Regional 38, 1007-1020. Konsep persaingan regional  menguat dikalangan akademis, politik, dan praktisi. Terutama semangat kompetisi perkotaan telah menghasilka literatur yang luas. Terdpat beberapa risiko bahwa pesaing ditingkat daerah menjadi tema konseptual. Masalah yang mendasar adalah bahwa para pelaku dan lembaga daerah- terikat berusaha untuk posisi dan mempertahankan kegunaan daerah dan subwilayah merekadengan menunjukan seraangkaian langkah-langkah dan tindakan yang konseptual dan secara empiris. Tingkat persaingan antar daerah tergantung pada kumpulan berkas dan ragam faktor lainnya. Makalah ini mengusulkan kerangka kerja konseptual untuk kompetisi regional berdasarkan keunggulan kompetitif perusahaan dan juga keuntungan yang sebanding dari perekonomian daerah. Mekanisme konseptual transmisi untuk pesaing daerah yang menggabungkan teori Liebenstein dari ‘X-inefisiensi’ dengan aglomerasi. Pertama, makalah ini menyejikan gambaran kompetisii dan literature, kemudian meeneliti neraca daerah dala kurangnya nilai tukar daerah yang nyata.

Budd L. and Hirmis A. K. (2004) A conceptual framework for regional competitiveness, Regional Studies38, 1007-1020. The concept of territorial competitiveness has gained ground in academic, policy and practitioner circles. In particular, the concept of urban competitiveness has generated an extensive literature. However, there is a risk that competitiveness at the territorial level will become a conceptual chimera. The main problem is that the actors and the territorial organs aspire to position and maintain the polyvalence of their regions and subregions by taking as a reference a set of measures and indicators that are conceptually dubious and without much empirical foundation. The extent to which regions compete depends on multiple factors. This article proposes a conceptual framework for regional competitiveness based on the combination of the competitive advantage of the companies and the comparative advantage of a regional economy. The conceptual transmission mechanism to regional competitiveness combines Liebenstein's theory of 'inefficiency-X' and agglomeration economies. The article begins with a review of the concept of competitiveness and the existing literature around this concept. He then investigates the regional balance restriction in the absence of a real regional exchange rate. Finally, the article raises the question of whether our conceptual approach was appropriate for a study of comparative indicators for the London region compared to other metropolis
Budd L. dan Hirmis A. K. (2004) Sebuah kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah, Regional Studies38, 1007-1020. Konsep daya saing wilayah telah memperoleh tanah di akademik, kebijakan dan kalangan praktisi. Secara khusus, konsep daya saing perkotaan telah menghasilkan literatur yang luas. Namun, ada risiko bahwa daya saing di tingkat wilayah akan menjadi angan-angan konseptual. Masalah utama adalah bahwa aktor dan organ-organ teritorial bercita-cita untuk posisi dan mempertahankan daerah dan subwilayah mereka dengan mengambil sebagai referensi satu set langkah-langkah dan indikator yang secara konseptual meragukan dan tanpa banyak yayasan empiris. Sejauh mana daerah bersaing tergantung pada beberapa faktor. Artikel ini mengusulkan kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah didasarkan pada kombinasi dari keunggulan kompetitif perusahaan dan keunggulan komparatif ekonomi regional. Mekanisme transmisi konseptual untuk daya saing daerah menggabungkan teori Liebenstein dari 'inefisiensi-X' dan ekonomi aglomerasi. Artikel ini dimulai dengan ulasan dari konsep daya saing dan literatur yang ada di sekitar konsep ini. Dia kemudian menyelidiki pembatasan keseimbangan daerah dengan tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata. Akhirnya, artikel menimbulkan pertanyaan apakah pendekatan konseptual sesuai untuk studi indikator perbandingan untuk wilayah London dibandingkan dengan kota metropolitan lainnya.
Budd L. dan Hirmis A. K. (2004) sebuah kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah, Regional Studies 38, 1007-1020. Konsep daya saing suatu wilayah telah memperoleh tanah di akademik, kebijakan dan kalangan praktisi. Secara khusus, konsep daya saing perkotaan telah menghasilkan literature yang luas. Namun, terdapat risiko terhadap daya saing ditingkat daerah akan menjadi bayangan konseptual. Masalah utamanya adalah para pelaku dan lembaga-lembaga teritorial untuk posisi dan mempertahankan daerah dan subwilayah mereka dengan mengambil langkah-langkah dan indikator yang secara konseptual, dan pesaingan daerah tergantung dari beberapa faktor. Makalah ini mengusulkan kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah didasarkan pada penggabungan dari keunggulan kompetitif ekonomi regional. Mekanisme transmisi konseptual untuk daya saing daerah dengan menggabungkan teori Liebenstein dari ‘X-infisien’ dan ekonomi aglomerasi. Makalah ini dimulai dengan menyaji dari konsep daya saing dan literatur yang ada disekitar konsep,, dann kemudian meyelidiki pembatasan keseimbangan daerah tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata. Akhirnya, makalah ini menimbulkan pertanyaan apakah pendekatan konseptual sesuai untuk studi indikator perbandingan untuk wilayah London dibandingkan dengan kota- kota lainnya.
INTRODUCTION
The notion of competitiveness is one that informs every economic policy document at every level of government and governance. Rather like globalization, the repetition of the term 'competitiveness' sheds much heat but little light. Competitiveness has become a generic term that is applied widely to a variety of business and economic circumstances. Consequently, it means different things to different people. In public fora, many policy-makers tend to conflate the terms of trade performance with the productivity of firms and industries into a single entity of competitiveness.
Gagasan daya saing adalah salah satu yang menginformasikan setiap dokumen kebijakan ekonomi di setiap tingkat pemerintahan dan tata kelola. Agak seperti globalisasi, pengulangan istilah 'daya saing' gudang banyak panas tapi sedikit cahaya. Saing telah menjadi istilah generik yang diterapkan secara luas untuk berbagai keadaan bisnis dan ekonomi. Akibatnya, itu berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Dalam forum publik, banyak pembuat kebijakan cenderung conflate hal kinerja perdagangan dengan produktivitas perusahaan dan industri menjadi satu kesatuan daya saing.
Gagasan daya saing adalah salah satu yang menginformasikan dari setiap dokumen kebijakan ekonomi disetiap tingkat pemerintahan dan tata kelola. Seperti halnya globalisasi, pengulangan istilah ‘daya saing’. Istilah saing telah mmenjadi istilah generic yang diterapkan secara luas untuk berbagai keadaan bisnis dan ekonomi. Akibatnya, itu berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Dalam forum publik, banyak pembuat kebijakan yang cenderung konflik hal kinerja perdagangan dengan pruduktivitas perusahaan dan industry menjadi satu kesatuan daya saing.            

The purpose of this paper is to make a contribution to the debate surrounding regional competitiveness. It also aims to further the research agenda, that to date has been conceptually wanting.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan kontribusi untuk perdebatan seputar daya saing daerah. Hal ini juga bertujuan untuk memajukan agenda penelitian, bahwa sampai saat ini telah konseptual ingin.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan kontribusi permasalahan  seputar daya saing daerah. Hal ini juga bertujuan untuk memajukan agenda penelitian, yaitu bahwa sampai saai ini telah terkonsep dengan baik.

Definitions

Definisi
Pengertian

The paper starts by setting out some definitional problems. In the UK, the Department of Trade and Industry (1998) defines competitiveness as: the ability to produce the right goods and services of the right quality, at the right price, at the right time. It means meeting customer needs more efficiently and more effectively than other firms.

Makalah ini dimulai dengan menetapkan beberapa masalah definisi. di Inggris, para DEPARTEMEN PERDAGANGAN DAN INDUSTRI (1998) mendefinisikan daya saing sebagai: kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa kanan kualitas yang tepat, pada harga yang tepat, pada waktu yang tepat. Ini berarti kebutuhan pelanggan pertemuan lebih efisien dan lebih efektif daripada perusahaan lain.
Makalah ini dimulai dengan menetapkan beberapa masalah  definisi di Inggris, para DEPARTEMEN PERDAGANGAN dan INDUSTRI (1998) mendefinisikan daya saing sebagai: kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa kanan dengan kualitas yang tepat, pada harga yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Ini berarti kebutuhan pelanggan lebih efisien dan lebih efektif daripada perusahaan lain.

For the Organization for Economic Co­operation and Development (1996), a working definition of national competitiveness is: The degree to which it can, under free and fair market conditions, produce goods and services which meet the test of inter-national markets, while simultaneously main­taining and expanding the real incomes of its people over the long term.

Untuk ORGANISASI UNTUK KERJASAMA EKONOMI DAN PEMBANGUNAN (1996), definisi kerja daya saing nasional adalah: Tingkat dimana dapat, dalam kondisi pasar yang bebas dan adil, memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar antar-nasional, sementara secara bersamaan mempertahankan dan memperluas pendapatan riil rakyatnya dalam jangka panjang.
Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (1996), mendefinisikan daya saing nasional adalah: Tingkat dimana dapat dilihat dala kondisi pasar yang bebas dan adil, memproduksi barang dan jasa yang telah memenuhi uji pasar antar-nasional, sementara secara bersamaan mempertahankan dan memperluas pendapatan rill rakyatnya dalam jangka panjang.

Dunning et al. (1998) argue that: Competitiveness is a way of discussing the relative perfor­mance of economies in a benchmarking sense. It can help identify areas of the economy that are lagging behind but not the reasons for those lags.

DUNNING et al. (1998) berpendapat bahwa: Daya Saing adalah cara membahas kinerja relatif dari ekonomi dalam arti benchmarking. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi bidang ekonomi yang tertinggal tetapi tidak alasan bagi mereka tertinggal.
Menurut DUNNING et al. (1998) yang berpendapat bahwa: daya saing adalah cara membahas kinerja relatif dari ekonomi benchmarking. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi  dibidang ekonomi yang tertinggal tetapi tidak ada alas an bagi mereka yang tertinggal.

They found it difficult to define competitiveness beyond identifying the level and growth of Gross Domestic Product (GDP) per head the most frequently cited and used measure.
Mereka merasa sulit untuk mendefinisikan daya saing di luar mengidentifikasi tingkat dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kepala ukuran yang paling sering dikutip dan digunakan.
Mereka merasa kesulitan untuk mendefinisikan daya saing diluar mengidentifikasi pada tingkat dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk ukuran per kepala yang paling sering dikutip dan digunakan. 

There are a number of studies of competitiveness, particularly national competi­tiveness, that start from the same conceptual point (Gudgin, 1996; Department of Trade and Industry, 1998; B rooksbank and P ickernell, 1999; Healey & Baker, 1999; Interview, 1999). The present staring point is Porter's (1998) 'diamond' framework, which consists of the following:
Factor conditions.
Demand conditions.
Related and supporting industries.
Firm strategy, structure and rivalry.

Ada sejumlah studi daya saing, terutama kompetitif nasional, yang dimulai dari titik konseptual yang sama (GUDGIN, 1996; DEPARTEMEN PERDAGANGAN dan INDUSTRY, 1998; B ROOKSBANK dan P ICKERNELL, 1999; Healey & BAKER, 1999; Wawancara, 1999). Titik ini menatap adalah PORTER'S (1998) 'diamond' kerangka kerja, yang terdiri dari:
• Kondisi Faktor.
• Kondisi Demand.
• Terkait dan mendukung industri.
• Strategi, struktur dan persaingan.
Terdapat sejumlah studi daya saing, terutama pada kompetitif nasional, yang dimulai dati titik konseptual yang sama (GUDGIN, 1996; DEPARTEMEN PERDAGANGAN dan INDUSTRY, 1998; B ROOKSBANK dan P ICKERNELL, 1999; Healey & BAKER 1999; Wawancara, 1999). Titik ini ditetepkan oleh PORTER’S (1998) yaitu kerangka kerja yang terdiri dari:
·     Kondisi Faktor.
·     Kondisi Demand.
·     Terkait dan mendukung industri.
·      Strategi, struktur dan persaingan.

According to Porter, strong national diamond is essen­tial to the competitive advantage of a national economy. The use of this framework is useful in that it takes the measurement of competitiveness at national and regional levels beyond the limitations of GDP per head and unemployment rates. It opens up the possibility of including manifold factors in the measurement of regional competitiveness. The problems with many of the measurement studies are that they tend to accept, fairly uncritically, Porter's diamond as the conceptual framework of territorial competitiveness.
Menurut Porter, berlian nasional yang kuat adalah penting untuk keunggulan kompetitif dari perekonomian nasional. Penggunaan kerangka ini berguna dalam bahwa dibutuhkan pengukuran daya saing di tingkat nasional dan regional melampaui keterbatasan GDP per tingkat kepala dan pengangguran. Hal itu membuka kemungkinan termasuk faktor manifold dalam pengukuran daya saing daerah. Masalah dengan banyak studi pengukuran adalah bahwa mereka cenderung menerima, cukup kritis, diamond Porter sebagai kerangka konseptual daya saing wilayah.
Menurut Porter, berlian nasional yang kuat adalah suatu keunggulan kompetitif dari perekonomian nasional. Dalam penggunakan kerangka ini berguna dan dibutuhkan suatu pengukuran untuk daya saing ditingkat nasional dan regional melampaui keterbatasan GDP per tingkat kepala dan penganggurang. Hal itu membuka kemungkinan termasuk berbagai jenis faktor dalam pengukuran daya saing daerah. Masalah dengan banyak studi pengukuran adalah bahwa mereka cenderung menerima dan cukup kritis,  menurut Porter, berlian dapat menjadi kerangka konseptual daya saing suatu wilayah.

The present paper seeks critically to build on and interrogate this approach in order to create a conceptual framework for regional competitiveness. It does so by investigating the role of agglomeration economies as the indirect transmission mechanism of regional com­petitiveness from combining competitive advantage at the firm level with comparative advantage at the regional economy level. It integrates the theory of 'X- inefficiency' to provide a conceptual datum against which the performance of the regional economy can be measured. In providing this conceptualization, the authors hope to contribute to an important research agenda.
Tulisan ini berusaha kritis untuk membangun dan menginterogasi pendekatan ini dalam rangka menciptakan kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah. Ia melakukannya dengan menyelidiki peran ekonomi aglomerasi sebagai mekanisme transmisi tidak langsung dari daerah kompetitif dari menggabungkan keunggulan kompetitif pada tingkat perusahaan dengan keunggulan komparatif di tingkat perekonomian daerah. Ini mengintegrasikan teori 'inefisiensi X' untuk memberikan data konseptual terhadap yang kinerja perekonomian daerah dapat diukur. Dalam memberikan konseptualisasi ini, penulis berharap untuk berkontribusi agenda penelitian yang penting.
Dalam tulisan ini, berusaha kritis untuk membangun dan mengintrogasi pendekatan dalam rangka menciptakan kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah. Untuk melakukannya dengan cara menyelidikiperan ekonomi aglomerasi sebagai mekanisme transmisi secara tidak langsung dari daerah kompetitif dengan menggabungkan keunggulan kompetitif pada tingkat perusahaan dengan keunggulan komparatif ditingkat perekonomian daerah. Ini mengintegrasikan dalam teori ‘X-ineffisiensi’ untuk memberikan lapotan tentang konseptual terhadap kinerja perekonomian daerah yang dapat diukur. Dalam memberikan konseptualisasi ini, penulis berharap untuk berkontribusi terhadap agenda penelitian yang penting.

TANTANGAN DAYA SAING TERITORIAL DI SKALA DAERAH
Tantangan Daya Saing Teritorial di Skala Daerah

Territorial competition appears to cause the most theoretical and conceptual difficulty. Business commen­tators and policy-makers tend to swallow whole­heartedly such generalized nostrums as competitiveness at national and subnational levels. By not being clear about what is and is not competitiveness, it can end up as a chimera.

Kompetisi teritorial tampaknya menyebabkan kesulitan yang paling teoritis dan konseptual. komentator bisnis dan pembuat kebijakan cenderung menelan nostrums umum sepenuh hati seperti saing di tingkat nasional dan subnasional. Dengan tidak jelas tentang apa yang bisa dan tidak saing, dapat berakhir sebagai gagasan yang tidak masuk akal.
Kompetisi territorial tampakya akan menyebabkan kesulitan yang paling teoritis dan konseptual. Komentator bisnis dan pembuat kebijakan bisasnnya cenderung menelan kritikan umum dengan sepenuh hati seperti daya saing di tingkat nasional dan subnasional. Dengan demikian, tidak jelas tentang apa yang bisa dan tidak dalam daya saing, dan dapat berakhir seperti gagasan kongkrit.

Many of the problems associated with defining terri­torial competitiveness are that the definition of territory itself is narrowly geographical. If one conceives of industrial filieres, many of their activities are distributed over industrial space. Similar arguments can be made for supply chains in certain industries.
Banyak masalah yang terkait dengan mendefinisikan daya saing teritorial adalah bahwa definisi dari wilayah itu sendiri adalah sempit geografis. Jika salah satu pemahaman dari filieres industri, banyak dari kegiatan mereka didistribusikan atas ruang industri.
Terdapat banyak masalah yang terkait dengan pengertian daya saing teriorial yaitu bahwa definisi dari wilayah itu sendiri adalah sempit secara geografis. Jika salah satu pemahaman dari filieres indusri, maka akan banyak dari kegiatan mereka didistribusikan atas ruang industry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar