TEKNOLOGI INFORMASI
CONCEPTUAL FRAMEWORK
FOR REGIONAL COMPETITIVENESS
(Kerangka
konseptual untuk Daya
Saing Daerah)
Dosen Pengampu:
DR. Windhu Putra, S.E. M.Si
Disusun Oleh:
KETERANGAN
|
BAHASA INGGRIS
|
BAHASA
INDONESIA TRANSLATE
|
BAHASA
INDONESIA HALUS
|
JUDUL
|
Kerangka konseptual untuk Daya Saing
Daerah
|
Kerangka
Konseptual untuk Daya Saing Daerah.
|
|
KEYWORD
|
Kata kunci: Daya Saing, keunggulan kompetitif dan komparatif, X-inefisiensi, ekonomi aglomerasi, daya saing Regional
|
Kata kunci : daya saing, keunggulan
kompetitif dan komperatif, X-inefisiensi, ekonomi aglomerasi, daya saing
Regional.
|
|
ABSTRACK
|
Budd L. and Hirmis
A. K. (2004) Conceptual framework for regional competitiveness,
Regional Studies 38, 1007-1020. The
concept of territorial competitiveness has gained ground in academic, policy
and practitioner circles. In particular, urban competitiveness has generated
a large literature. However, there is a danger that competitiveness at a
territorial level becomes a conceptual chimera. The essential problem is that
territorially based actors and agencies seek to position and maintain the
utility of their regions and subregions by reference to a set of measures and
indicators that are conceptually suspect and often empirically weak. The
degree to which regions compete depends on a manifold set of factors. The
paper proposes a conceptual framework for regional competitiveness based on
combining the competitive advantage of firms and the comparative advantage of
a regional economy The conceptual transmission mechanism to regional
competitiveness combines Liebenstein's theory of 'X-inefficiency' and
agglomeration economies. The paper begins with a review of competitiveness
and its literature. It then investigates the regional balance of payment
constraint in the absence of a real regional exchange rate. In conclusion, it
asks whether the conceptual approach was appropriate for a study of
benchmarking indicators for the London region in comparison with other metropolises.
|
BUDD L. dan HIRMIS A. K. (2004)
kerangka konseptual untuk daya saing daerah, Studi Regional 38, 1007-1020.
Konsep daya saing wilayah telah memperoleh tanah di akademik, kebijakan dan
kalangan praktisi. Secara khusus, daya saing perkotaan telah menghasilkan
banyak literatur. Namun, ada bahaya bahwa daya saing di tingkat teritorial
menjadi gagasan konseptual. Masalah
penting adalah bahwa aktor dan lembaga teritorial berdasarkan mencari untuk
posisi dan mempertahankan utilitas daerah dan subwilayah mereka dengan
mengacu pada satu set langkah-langkah dan indikator yang secara konseptual
menduga dan sering empiris lemah. Sejauh mana daerah bersaing tergantung pada
satu set berjenis faktor. Makalah ini mengusulkan sebuah kerangka kerja
konseptual untuk daya saing daerah berdasarkan menggabungkan keunggulan kompetitif perusahaan dan keunggulan
komparatif dari perekonomian daerah Mekanisme transmisi konseptual untuk daya
saing daerah menggabungkan teori Liebenstein dari 'X-inefisiensi dan ekonomi
aglomerasi. Makalah ini dimulai dengan ulasan daya saing dan sastra nya.
Kemudian menyelidiki keseimbangan regional kendala pembayaran dengan tidak
adanya nilai tukar daerah yang nyata. Sebagai kesimpulan, menanyakan apakah
pendekatan konseptual sesuai untuk studi indikator benchmarking untuk wilayah
London dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
|
BUDD L. dan HIRMIS A.K.(2004) kerangka
konseptual untuk daya saing daerah, Studi Regional 38, 1007-1020. Konsep daya
saing wilayah telah memperoleh tanah
di akademik praktisi. Secara khusus, daya saing diperkotaan telah
menghasilkan banyak literatur. Namun, ada banyak bahaya bahwa daya saing
ditingkat territorial menjadi suatu ide gagasan konseptual. Masalah penting
adalah bahwa pelaku dan lembaga teritorial berdasarkan cara untuk mendapatkan
posisi dan mempertahankan utilitas daerah dan subwilayah mereka dengan
mengacu pada suatu langkah-langkahdan indicator yang secara konseptual
menduga dan sering empiris lemah. Sejauh mana suatu daerah bersaing,
tergantung pada satu set seperti faktor. Makalah ini mengusulkan sebuah
kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah berdasarkan gabungan
keunggulan kompetitif perusahaan dengan keunggulan dari perekonomian daerah.
Mekanisme transmisi konseptual untuk daya saing daerah yang menggabungkan
teori Liebenstein dar ‘X-inefisien dan ekonomi aglomerasi. Makalah ini
dimulai dengan ulasan daya saing dan sastranya. Kemudian menyelidiki
keseimbangan regional kendala pembayaran dengan tidak adanya nilai tukar
daerah yang nyata. Sebagai kesimpulan, menanyakan apakah pendekatan
konseptual sesuai untuk studi indikator
benchmarking untuk wilayah London dibandingkan dengan kota-kota
lainnya.
|
|
Budd L. and Hermes A. K. (2004)
Regional Competitiveness: A Conceptual Framework, Regional Studies38, 1007-1020.
In the intellectual, policy and professional circles, the notion of
territorial competitiveness has gained ground. In particular, urban
competitiveness has generated important documentation. However, there is a
risk that competitiveness becomes a conceptual chimera on a geographical
level. The overarching problem is that actors and territorial agencies seek
to position and maintain the usefulness of regions and subregions in relation
to a set of conceptually dubious and often empirically weak measures and
indicators. The competitiveness of the regions depends on many factors. This
paper seeks to propose a conceptual framework of regional competitiveness
based on a combination of the competitive advantage of firms and the
comparative advantage of a regional economy. The conceptual transmission
mechanism of regional competitiveness combines the theory of inefficiency X
in Liebenstein and the conglomeration economies. First, the article
criticizes the competitiveness and the corresponding documentation. The
result is a study of regional constraints in the absence of a real regional
exchange rate. To conclude, the paper asks the following question: Is the
conceptual approach appropriate for the survey of London and its surroundings
relative to other metropolises?
|
Budd L. dan Hermes A. K. (2004) Daya
Saing Daerah: Kerangka Kerja Konseptual, Regional Studies38, 1007-1020. Dalam
intelektual, kebijakan dan profesional lingkaran, gagasan daya saing wilayah
telah memperoleh tanah. Secara khusus, daya saing perkotaan telah
menghasilkan dokumentasi penting. Namun, ada risiko bahwa daya saing menjadi
chimera konseptual pada tingkat geografis. Masalah menyeluruh adalah bahwa
aktor dan lembaga teritorial berusaha untuk posisi dan mempertahankan
kegunaan daerah dan subregional dalam kaitannya dengan satu set konseptual
meragukan dan sering tindakan empiris yang lemah dan indikator. Daya saing
daerah tergantung pada banyak faktor. Makalah ini berusaha untuk mengusulkan
kerangka kerja konseptual daya saing daerah didasarkan pada kombinasi dari
keunggulan kompetitif perusahaan dan keunggulan komparatif ekonomi regional.
Mekanisme transmisi konseptual daya saing daerah menggabungkan teori
inefisiensi X di Liebenstein dan ekonomi konglomerasi. Pertama, artikel
mengkritik daya saing dan dokumentasi yang sesuai. Hasilnya adalah studi
tentang kendala daerah dengan tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata.
Untuk menyimpulkan, kertas meminta pertanyaan berikut: Apakah pendekatan
konseptual yang tepat untuk survei dari London dan sekitarnya relatif
terhadap kota-kota lainnya?
|
Budd L. dan Hermes A.K.(2004) Daya
Saing Daerah: Kerangka Kerja Konseptual, Regional Studies 38, 1007-1020.
Dalam intelektual, kebijakan dan profesional lingkaran, gagasan daya saing
wilayah telah memperoleh tanah. Secara khusus, daya saing diperkotaan telah
menghasilkan dokumentasi penting. Namun, ada resiko bahwa daya saing tingkat
goegrafis. Masalah seluruhnya adalah bahwa pelaku dan lembaga territorial
berusaha untuk mendapatkan posisi dan mempertahankan kegunaan daerah dan
subregional dalam kaitannya dengan satu set konseptual meragukan dan sering
terdapat tindakan yang empiris yang lemah dan indikator. Daya saing daerah
tergantung pada banyak faktor. Makalah ini berusaha untuk mengusulkan
kerangka konsep konseptual daya saing daerah didasarkan pada penggabungan
dari keunggulan kompetitif perusahaan dan keunggulan kompetitif ekonomi
regional. Mekanisme transmisi yang menggabungkan teori X-inefisiensi di
Liebenstein dan ekonomi konglomerat. Pertama, artikel mengkritik daya
saingdan dokumentasi yang sesuai. Hasilnya
adalah studi tentang kendala daerah dengan tidak adanya nilai tukar
daerah yang nyata. Untuk menyimpulkan, atas pernyataan berikut: Apakah
pendekatan konseptual yang tepat untuk survey dari London dan sekitarnya
relative terhadap kota-kota lainnya?
|
|
BUDD
L. and HIRMIS A. K. (2004) A conceptual framework for regional competition,
Regional Studies 38, 1007-1020. The concept of a regional competitor has
gained ground in academic, political and practical circles. Especially the
urban competition spirit has produced an extensive literature. There is,
however, a risk that the competitor at the level of the region becomes a
conceptual chimera. The basic problem is that area-bound players and agencies
are endeavoring to position and maintain the usefulness of their regions and
subregions by pointing to a series of measures and measures that are
conceptually suspect and empirically uncertain. The extent of competition
among regions depends on a bundle of manifold factors. This essay proposes a
conceptual framework for regional competition based on combating the
competitive advantages of companies and also the comparable advantages of a
regional economy. The conceptual mechanism of transmission to a regional competitor
combines Liebenstein's theory of 'X-inefficiency' with agglomerations. The
essay first presents an overview of competition and its literature. Then he
examines the regional balance sheets in the light of the lack of a real
regional exchange rate. Finally, the question is raised as to whether the
conceptual.
|
BUDD L. dan HIRMIS A. K. (2004) Sebuah
kerangka konseptual untuk kompetisi regional, Studi Regional 38, 1007-1020.
Konsep pesaing regional menguat di kalangan akademisi, politik dan praktis. Terutama
semangat kompetisi perkotaan telah menghasilkan literatur yang luas. Ada,
bagaimanapun, risiko bahwa pesaing di tingkat daerah menjadi chimera
konseptual. Masalah mendasar adalah bahwa pemain dan lembaga daerah-terikat
berusaha untuk posisi dan mempertahankan kegunaan daerah dan subwilayah
mereka dengan menunjuk serangkaian langkah-langkah dan tindakan yang
konseptual menduga dan secara empiris tidak pasti. Tingkat persaingan antar
daerah tergantung pada bundel faktor ragamnya. Esai ini mengusulkan kerangka
kerja konseptual untuk kompetisi regional berdasarkan memerangi keunggulan
kompetitif perusahaan dan juga keuntungan yang sebanding dari perekonomian
daerah. Mekanisme konseptual transmisi untuk pesaing daerah menggabungkan
teori Liebenstein dari 'X-inefisiensi' dengan aglomerasi. Esai pertama
menyajikan gambaran kompetisi dan literatur. Lalu ia meneliti neraca daerah
dalam terang kurangnya nilai tukar daerah yang nyata. Akhirnya, muncul
pertanyaan apakah konseptual.
|
BUDD L. dan HIRMIS A. K. (2004) Sebuah
kerangka konseptual untuk kompetisi regional, Studi Regional 38, 1007-1020. Konsep
persaingan regional menguat dikalangan
akademis, politik, dan praktisi. Terutama semangat kompetisi perkotaan telah
menghasilka literatur yang luas. Terdpat beberapa risiko bahwa pesaing
ditingkat daerah menjadi tema konseptual. Masalah yang mendasar adalah bahwa
para pelaku dan lembaga daerah- terikat berusaha untuk posisi dan
mempertahankan kegunaan daerah dan subwilayah merekadengan menunjukan
seraangkaian langkah-langkah dan tindakan yang konseptual dan secara empiris.
Tingkat persaingan antar daerah tergantung pada kumpulan berkas dan ragam
faktor lainnya. Makalah ini mengusulkan kerangka kerja konseptual untuk
kompetisi regional berdasarkan keunggulan kompetitif perusahaan dan juga
keuntungan yang sebanding dari perekonomian daerah. Mekanisme konseptual
transmisi untuk pesaing daerah yang menggabungkan teori Liebenstein dari
‘X-inefisiensi’ dengan aglomerasi. Pertama, makalah ini menyejikan gambaran
kompetisii dan literature, kemudian meeneliti neraca daerah dala kurangnya
nilai tukar daerah yang nyata.
|
|
Budd L. and Hirmis A. K. (2004) A
conceptual framework for regional competitiveness, Regional Studies38,
1007-1020. The concept of territorial competitiveness has gained ground in
academic, policy and practitioner circles. In particular, the concept of
urban competitiveness has generated an extensive literature. However, there
is a risk that competitiveness at the territorial level will become a
conceptual chimera. The main problem is that the actors and the territorial
organs aspire to position and maintain the polyvalence of their regions and
subregions by taking as a reference a set of measures and indicators that are
conceptually dubious and without much empirical foundation. The extent to
which regions compete depends on multiple factors. This article proposes a
conceptual framework for regional competitiveness based on the combination of
the competitive advantage of the companies and the comparative advantage of a
regional economy. The conceptual transmission mechanism to regional
competitiveness combines Liebenstein's theory of 'inefficiency-X' and
agglomeration economies. The article begins with a review of the concept of
competitiveness and the existing literature around this concept. He then
investigates the regional balance restriction in the absence of a real
regional exchange rate. Finally, the article raises the question of whether
our conceptual approach was appropriate for a study of comparative indicators
for the London region compared to other metropolis
|
Budd L. dan Hirmis A. K. (2004) Sebuah
kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah, Regional Studies38,
1007-1020. Konsep daya saing wilayah telah memperoleh tanah di akademik,
kebijakan dan kalangan praktisi. Secara khusus, konsep daya saing perkotaan
telah menghasilkan literatur yang luas. Namun, ada risiko bahwa daya saing di
tingkat wilayah akan menjadi angan-angan konseptual. Masalah utama adalah
bahwa aktor dan organ-organ teritorial bercita-cita untuk posisi dan
mempertahankan daerah dan subwilayah mereka dengan mengambil sebagai
referensi satu set langkah-langkah dan indikator yang secara konseptual
meragukan dan tanpa banyak yayasan empiris. Sejauh mana daerah bersaing
tergantung pada beberapa faktor. Artikel ini mengusulkan kerangka kerja
konseptual untuk daya saing daerah didasarkan pada kombinasi dari keunggulan
kompetitif perusahaan dan keunggulan komparatif ekonomi regional. Mekanisme
transmisi konseptual untuk daya saing daerah menggabungkan teori Liebenstein
dari 'inefisiensi-X' dan ekonomi aglomerasi. Artikel ini dimulai dengan
ulasan dari konsep daya saing dan literatur yang ada di sekitar konsep ini.
Dia kemudian menyelidiki pembatasan keseimbangan daerah dengan tidak adanya nilai
tukar daerah yang nyata. Akhirnya, artikel menimbulkan pertanyaan apakah
pendekatan konseptual sesuai untuk studi indikator perbandingan untuk wilayah
London dibandingkan dengan kota metropolitan lainnya.
|
Budd L. dan Hirmis A. K. (2004) sebuah
kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah, Regional Studies 38,
1007-1020. Konsep daya saing suatu wilayah telah memperoleh tanah di
akademik, kebijakan dan kalangan praktisi. Secara khusus, konsep daya saing
perkotaan telah menghasilkan literature yang luas. Namun, terdapat risiko
terhadap daya saing ditingkat daerah akan menjadi bayangan konseptual.
Masalah utamanya adalah para pelaku dan lembaga-lembaga teritorial untuk
posisi dan mempertahankan daerah dan subwilayah mereka dengan mengambil
langkah-langkah dan indikator yang secara konseptual, dan pesaingan daerah
tergantung dari beberapa faktor. Makalah ini mengusulkan kerangka kerja
konseptual untuk daya saing daerah didasarkan pada penggabungan dari
keunggulan kompetitif ekonomi regional. Mekanisme transmisi konseptual untuk
daya saing daerah dengan menggabungkan teori Liebenstein dari ‘X-infisien’
dan ekonomi aglomerasi. Makalah ini dimulai dengan menyaji dari konsep daya
saing dan literatur yang ada disekitar konsep,, dann kemudian meyelidiki
pembatasan keseimbangan daerah tidak adanya nilai tukar daerah yang nyata.
Akhirnya, makalah ini menimbulkan pertanyaan apakah pendekatan konseptual
sesuai untuk studi indikator perbandingan untuk wilayah London dibandingkan
dengan kota- kota lainnya.
|
INTRODUCTION
|
The notion of competitiveness is one
that informs every economic policy document at every level of government and
governance. Rather like globalization, the repetition of the term
'competitiveness' sheds much heat but little light. Competitiveness has become
a generic term that is applied widely to a variety of business and economic
circumstances. Consequently, it means different things to different people.
In public fora, many policy-makers tend to conflate the terms of trade
performance with the productivity of firms and industries into a single
entity of competitiveness.
|
Gagasan daya saing adalah salah satu
yang menginformasikan setiap dokumen kebijakan ekonomi di setiap tingkat
pemerintahan dan tata kelola. Agak seperti globalisasi, pengulangan istilah 'daya
saing' gudang banyak panas tapi sedikit cahaya. Saing telah menjadi istilah
generik yang diterapkan secara luas untuk berbagai keadaan bisnis dan
ekonomi. Akibatnya, itu berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda.
Dalam forum publik, banyak pembuat kebijakan cenderung conflate hal kinerja
perdagangan dengan produktivitas perusahaan dan industri menjadi satu
kesatuan daya saing.
|
Gagasan daya saing adalah salah satu
yang menginformasikan dari setiap dokumen kebijakan ekonomi disetiap tingkat
pemerintahan dan tata kelola. Seperti halnya globalisasi, pengulangan istilah
‘daya saing’. Istilah saing telah mmenjadi istilah generic yang diterapkan
secara luas untuk berbagai keadaan bisnis dan ekonomi. Akibatnya, itu berarti
hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Dalam forum publik, banyak pembuat
kebijakan yang cenderung konflik hal kinerja perdagangan dengan pruduktivitas
perusahaan dan industry menjadi satu kesatuan daya saing.
|
|
The purpose of this paper is to make a
contribution to the debate surrounding regional competitiveness. It also aims
to further the research agenda, that to date has been conceptually wanting.
|
Tujuan dari makalah ini adalah untuk
memberikan kontribusi untuk perdebatan seputar daya saing daerah. Hal ini
juga bertujuan untuk memajukan agenda penelitian, bahwa sampai saat ini telah
konseptual ingin.
|
Tujuan dari makalah ini adalah untuk
memberikan kontribusi permasalahan
seputar daya saing daerah. Hal ini juga bertujuan untuk memajukan
agenda penelitian, yaitu bahwa sampai saai ini telah terkonsep dengan baik.
|
|
Definitions
|
Definisi
|
Pengertian
|
|
The paper starts by setting out some
definitional problems. In the UK, the Department of Trade
and Industry (1998) defines competitiveness as: the
ability to produce the right goods and services of the right quality, at the
right price, at the right time. It means meeting customer needs more
efficiently and more effectively than other firms.
|
Makalah ini dimulai dengan menetapkan
beberapa masalah definisi. di Inggris, para DEPARTEMEN PERDAGANGAN DAN
INDUSTRI (1998) mendefinisikan daya saing sebagai: kemampuan untuk
menghasilkan barang dan jasa kanan kualitas yang tepat, pada harga yang
tepat, pada waktu yang tepat. Ini berarti kebutuhan pelanggan pertemuan lebih
efisien dan lebih efektif daripada perusahaan lain.
|
Makalah ini dimulai dengan menetapkan
beberapa masalah definisi di Inggris,
para DEPARTEMEN PERDAGANGAN dan INDUSTRI (1998) mendefinisikan daya saing sebagai:
kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa kanan dengan kualitas yang
tepat, pada harga yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Ini berarti
kebutuhan pelanggan lebih efisien dan lebih efektif daripada perusahaan lain.
|
|
For the Organization
for Economic Cooperation and Development
(1996), a working definition of national competitiveness is: The degree to
which it can, under free and fair market conditions, produce goods and
services which meet the test of inter-national markets, while simultaneously
maintaining and expanding the real incomes of its people over the long term.
|
Untuk ORGANISASI UNTUK KERJASAMA
EKONOMI DAN PEMBANGUNAN (1996), definisi kerja daya saing nasional adalah:
Tingkat dimana dapat, dalam kondisi pasar yang bebas dan adil, memproduksi
barang dan jasa yang memenuhi uji pasar antar-nasional, sementara secara
bersamaan mempertahankan dan memperluas pendapatan riil rakyatnya dalam
jangka panjang.
|
Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (1996), mendefinisikan daya saing nasional adalah: Tingkat dimana
dapat dilihat dala kondisi pasar yang bebas dan adil, memproduksi barang dan
jasa yang telah memenuhi uji pasar antar-nasional, sementara secara bersamaan
mempertahankan dan memperluas pendapatan rill rakyatnya dalam jangka panjang.
|
|
Dunning
et al. (1998) argue that: Competitiveness is a way of
discussing the relative performance of economies in a benchmarking sense. It
can help identify areas of the economy that are lagging behind but not the
reasons for those lags.
|
DUNNING et al. (1998) berpendapat
bahwa: Daya Saing adalah cara membahas kinerja relatif dari ekonomi dalam
arti benchmarking. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi bidang ekonomi
yang tertinggal tetapi tidak alasan bagi mereka tertinggal.
|
Menurut DUNNING et al. (1998) yang
berpendapat bahwa: daya saing adalah cara membahas kinerja relatif dari
ekonomi benchmarking. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi dibidang ekonomi yang tertinggal tetapi
tidak ada alas an bagi mereka yang tertinggal.
|
|
They found it difficult to define
competitiveness beyond identifying the level and growth of Gross Domestic
Product (GDP) per head the most frequently cited and used measure.
|
Mereka merasa sulit untuk
mendefinisikan daya saing di luar mengidentifikasi tingkat dan pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB) per kepala ukuran yang paling sering dikutip dan
digunakan.
|
Mereka merasa kesulitan untuk
mendefinisikan daya saing diluar mengidentifikasi pada tingkat dan
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk ukuran per kepala yang paling
sering dikutip dan digunakan.
|
|
There are a number of studies of
competitiveness, particularly national competitiveness, that start from the
same conceptual point (Gudgin, 1996; Department
of Trade and Industry, 1998; B rooksbank
and P ickernell, 1999; Healey & Baker,
1999; Interview, 1999). The present staring point is Porter's
(1998) 'diamond' framework, which consists of the following:
Factor conditions.
Demand conditions.
Related and supporting industries.
Firm strategy, structure and rivalry.
|
Ada sejumlah studi daya saing,
terutama kompetitif nasional, yang dimulai dari titik konseptual yang sama
(GUDGIN, 1996; DEPARTEMEN PERDAGANGAN dan INDUSTRY,
1998; B ROOKSBANK dan P ICKERNELL, 1999; Healey & BAKER, 1999; Wawancara,
1999). Titik ini menatap adalah PORTER'S (1998) 'diamond' kerangka kerja,
yang terdiri dari:
• Kondisi Faktor.
• Kondisi Demand.
• Terkait dan mendukung industri.
• Strategi, struktur dan persaingan.
|
Terdapat sejumlah studi daya saing,
terutama pada kompetitif nasional, yang dimulai dati titik konseptual yang
sama (GUDGIN, 1996; DEPARTEMEN PERDAGANGAN dan INDUSTRY, 1998; B ROOKSBANK
dan P ICKERNELL, 1999; Healey & BAKER 1999; Wawancara, 1999). Titik ini
ditetepkan oleh PORTER’S (1998) yaitu kerangka kerja yang terdiri dari:
· Kondisi
Faktor.
· Kondisi
Demand.
· Terkait dan
mendukung industri.
· Strategi, struktur dan persaingan.
|
|
According to Porter, strong national
diamond is essential to the competitive advantage of a national economy. The
use of this framework is useful in that it takes the measurement of
competitiveness at national and regional levels beyond the limitations of GDP
per head and unemployment rates. It opens up the possibility of including
manifold factors in the measurement of regional competitiveness. The problems
with many of the measurement studies are that they tend to accept, fairly
uncritically, Porter's diamond as the conceptual framework of territorial
competitiveness.
|
Menurut Porter, berlian nasional yang
kuat adalah penting untuk keunggulan kompetitif dari perekonomian nasional.
Penggunaan kerangka ini berguna dalam bahwa dibutuhkan pengukuran daya saing
di tingkat nasional dan regional melampaui keterbatasan GDP per tingkat
kepala dan pengangguran. Hal itu membuka kemungkinan termasuk faktor manifold
dalam pengukuran daya saing daerah. Masalah dengan banyak studi pengukuran
adalah bahwa mereka cenderung menerima, cukup kritis, diamond Porter sebagai
kerangka konseptual daya saing wilayah.
|
Menurut Porter, berlian nasional yang
kuat adalah suatu keunggulan kompetitif dari perekonomian nasional. Dalam
penggunakan kerangka ini berguna dan dibutuhkan suatu pengukuran untuk daya
saing ditingkat nasional dan regional melampaui keterbatasan GDP per tingkat
kepala dan penganggurang. Hal itu membuka kemungkinan termasuk berbagai jenis
faktor dalam pengukuran daya saing daerah. Masalah dengan banyak studi
pengukuran adalah bahwa mereka cenderung menerima dan cukup kritis, menurut Porter, berlian dapat menjadi
kerangka konseptual daya saing suatu wilayah.
|
|
The present paper seeks critically to
build on and interrogate this approach in order to create a conceptual
framework for regional competitiveness. It does so by investigating the role
of agglomeration economies as the indirect transmission mechanism of regional
competitiveness from combining competitive advantage at the firm level with
comparative advantage at the regional economy level. It integrates the theory
of 'X- inefficiency' to provide a conceptual datum against which the
performance of the regional economy can be measured. In providing this
conceptualization, the authors hope to contribute to an important research
agenda.
|
Tulisan ini berusaha kritis untuk
membangun dan menginterogasi pendekatan ini dalam rangka menciptakan kerangka
kerja konseptual untuk daya saing daerah. Ia melakukannya dengan menyelidiki
peran ekonomi aglomerasi sebagai mekanisme transmisi tidak langsung dari
daerah kompetitif dari menggabungkan keunggulan kompetitif pada tingkat
perusahaan dengan keunggulan komparatif di tingkat perekonomian daerah. Ini
mengintegrasikan teori 'inefisiensi X' untuk memberikan data konseptual
terhadap yang kinerja perekonomian daerah dapat diukur. Dalam memberikan
konseptualisasi ini, penulis berharap untuk berkontribusi agenda penelitian
yang penting.
|
Dalam tulisan ini, berusaha kritis
untuk membangun dan mengintrogasi pendekatan dalam rangka menciptakan
kerangka kerja konseptual untuk daya saing daerah. Untuk melakukannya dengan
cara menyelidikiperan ekonomi aglomerasi sebagai mekanisme transmisi secara
tidak langsung dari daerah kompetitif dengan menggabungkan keunggulan
kompetitif pada tingkat perusahaan dengan keunggulan komparatif ditingkat
perekonomian daerah. Ini mengintegrasikan dalam teori ‘X-ineffisiensi’ untuk
memberikan lapotan tentang konseptual terhadap kinerja perekonomian daerah
yang dapat diukur. Dalam memberikan konseptualisasi ini, penulis berharap
untuk berkontribusi terhadap agenda penelitian yang penting.
|
|
TANTANGAN DAYA SAING TERITORIAL DI
SKALA DAERAH
|
Tantangan
Daya Saing Teritorial di Skala Daerah
|
|
|
Territorial competition appears to
cause the most theoretical and conceptual difficulty. Business commentators
and policy-makers tend to swallow wholeheartedly such generalized nostrums as
competitiveness at national and subnational levels. By not being clear about
what is and is not competitiveness, it can end up as a chimera.
|
Kompetisi teritorial tampaknya
menyebabkan kesulitan yang paling teoritis dan konseptual. komentator bisnis
dan pembuat kebijakan cenderung menelan nostrums umum sepenuh hati seperti
saing di tingkat nasional dan subnasional. Dengan tidak jelas tentang apa
yang bisa dan tidak saing, dapat berakhir sebagai gagasan yang tidak masuk
akal.
|
Kompetisi territorial tampakya akan
menyebabkan kesulitan yang paling teoritis dan konseptual. Komentator bisnis
dan pembuat kebijakan bisasnnya cenderung menelan kritikan umum dengan
sepenuh hati seperti daya saing di tingkat nasional dan subnasional. Dengan
demikian, tidak jelas tentang apa yang bisa dan tidak dalam daya saing, dan
dapat berakhir seperti gagasan kongkrit.
|
|
Many of the problems associated with
defining territorial competitiveness are that the definition of territory
itself is narrowly geographical. If one conceives of industrial
filieres, many of their activities are distributed over
industrial space. Similar arguments can be made for supply chains in certain
industries.
|
Banyak masalah yang terkait dengan
mendefinisikan daya saing teritorial adalah bahwa definisi dari wilayah itu
sendiri adalah sempit geografis. Jika salah satu pemahaman dari filieres
industri, banyak dari kegiatan mereka didistribusikan atas ruang industri.
|
Terdapat banyak masalah yang terkait
dengan pengertian daya saing teriorial yaitu bahwa definisi dari wilayah itu
sendiri adalah sempit secara geografis. Jika salah satu pemahaman dari
filieres indusri, maka akan banyak dari kegiatan mereka didistribusikan atas
ruang industry.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar